Langsung ke konten utama

Setelah Pandemi, Kita Akan Kemana?

Setelah Pandemi, Kita Akan Kemana? 
*Ditulis sebelum idul fitri

Setelah pandemi, kita akan kemana? pertanyaan itu kemungkinan ada di benak kita masing-masing. Jika ditanya saya akan kemana?, tentunya saya akan melampiaskan semua kekesalan yang tersimpan selama pandemi ini. Misal, berlibur mengunjungi tempat wisata, atau bersemedi di atas gunung Bambapuang (Enrekang, Sulawesi Selatan) yang konon katanya terdapat gerbang menuju langit. Itu hanya sebatas keinginan kecil setelah pandemi berakhir, dan semoga pandemi ini segera berakhir.

Pandemi, sebagai ujian ummat Muslim saja?. Tentu bukan, ini adalah ujian bagi seluruh ummat manusia dimanapun mereka berada, dan tidak memandang agama serta status sosialnya. Bahkan seorang yang Atheist pun diuji oleh Tuhan dengan adanya Covid ini. 

Pandemi Corona ini menunjukkan bukti nyata bahwa kita semua sama di mata Tuhan. Di mimbar-mimbar keagamaan sering kita dengar sebuah kalimat semua sama di mata Tuhan, yang membedakan hanya taqwa . Di masa pandemi ini ungkapan tersebut sedikit betul, sebab siapapun bisa terdampak virus yang katanya mematikan ini, tanpa memandang agama, pekerjaan, umur, bahkan sekalipun dia artis atau seorang buruh karyawan biasa. 

Di bulan Ramadhan ini, kita seolah dipukul telak dengan masih adanya Virus Corona ini. Sebab segala sesuatu yang sering kita budayakan di Ramadhan yang lalu-lalu, tidak kita lakukan lagi di Ramadhan kali ini, semua terasa berbeda. 

Misal saja melaksanakan Tarwih berjamaah di masjid-masjid, disusul Witir Berjamaah. Sekarang ini kita dibiasakan untuk tidak melakukan hal tersebut, karena untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan, guna meredam laju penyebaran virus. Tapi tetap saja, pro kontra terjadi di masyarakat, banyak yang tetap melaksanakan Tarawih ini berjamaah, ada yang dengan kelompok masing-masing di masjid masing-masing, ada yang di rumah saja sesuai imbauan MUI (Majelis Ulama Indonesia), bahkan ada juga yang tidak melaksanakannya sama sekali, itu tergantung pribadi saja.

Sebelum Ramadhan tiba, ramai di media sosial orang-orang membangun narasi, bahwa Virus Corona ini akan hilang karena Ramadhan segera tiba. Saya sedikit bertanya nakal walaupun sedikit tidak masuk akal "Apakah Corona ini makhluk gaib ? Yang sekali dibacakan Ayat Kursi akan lari terbirit-birit ?" . Tentu tidak cukup dengan doa saja, karena virus ini adalah makhluk hidup, mereka berkembang biak, jadi berdoa saja tidak cukup. 

Tentu kita sedih dengan keadaan yang ada saat sekarang ini, apalagi kita umat Muslim, sebab bulan baik, bulan yang yang suci ini harus kita lalui dengan banyak imbauan dan larangan yang bertolak belakang dengan kebiasaan kita saat Ramadhan. Salah satu yang juga memukul telak adalah tentang "Mudik", bukan pulang kampung ya. Beda? Iya jelas beda, pulang kampung tidak dibatasi waktu tertentu, sementara Mudik dibatasi setting waktu, yaitu saat lebaran saja. Pemerintah kemudian mengimbau bahkan ada yang melarang untuk Mudik. Imbauan dan pelarangan ini tentu membuat kita sedikit murung, sebab kita harus rela tidak pulang dan berkumpul bersama keluarga terkasih meenyambut hari yang fitri, menahan untuk tidak menularkan virus, katanya. 

Juga hari raya Idul Fitri, bisa dipastikan tidak akan kita lalui seperti Ramadhan sebelumnya. Tidak akan ada Shalat Ied di lapangan terbuka, dan juga salam-salaman dengan sanak family lain akan terasa canggung, bisa dipastikan. Tapi apakah hal ini membuat kita harus merasa down? atau bahkan mengatakan Tuhan tidak adil? karena kenapa pandemi ini datang di saat yang seharusnya kita merayakan sebuah kemenangan? Jangan kawan, Tuhan itu Maha Adil. 

Bukan cuman "kita" umat Muslim yang harus merayakan sesuatu yang harus dirayakan di tengah pandemi.

Ada saudara kita ummat Buddha yang juga harus merayakan hari raya (Waisak) mereka di tengah pandemi yang jatuh pada tanggal 5 Mei 2020. Di  Vietnam, salah satu negara ASEAN yang memiliki persentase penduduk beragama Buddha 12℅, tetangga Indonesia, bahkan meniadakan perayaan hari raya Waisak, hari raya agama Buddha. Dilansir dari Vietnam Times, 22 April 2020. Vietnam Buddha Shangha (VBS) memutuskan untuk meniadakan hari raya tersebut di Vietnam. Yang mana tahun lalu mereka sukses merayakan hari raya tersebut di Vietnam. 

Begitu pula dengan saudara kita ummat Hindu, mereka juga menghadapi dan merayakan hari raya Nyepi , yaitu hari raya dimana ummat Hindu menyambut tahun baru Saka (kalender ummat Hindu). Hari raya Nyepi jatuh di tanggal 25 Maret 2020 dan harus dihadapi di tengah pandemi. 

Orang-orang Tionghoa pun merasakan hal serupa, bahkan mereka yang pertama kali harus menghadapi hal semacam ini. Perayaan Imlek di China harus dibatalkan sebab saat itu telah gempar Virus Corona ini. Perayaan Imlek sendiri jatuh pada tanggal 25 Januari 2020 lalu, dan Festival Perayaan Imlek di China harus ditiadakan di beberapa kota-kota besar.

Begitu juga dengan ummat Kristiani, salah satu hari yang mereka rayakan yang jatu pada tanggal 21 Mei 2020 nanti, yaitu Kenaikan Yesus Kristus akan mereka hadapi di tengah pandemi, menurut hemat pribadi, Tuhan memang sangat adil. 

Apakah kita sebagai umat Muslim masih merasa hanya hari raya kita yang harus dihadapi di masa Corona?. Tapi tenang kawan, setelah kita berusaha dan berdoa. Kita semestinya menanti wujud Ayat Tuhan yang ada di kitab suci Al-Quran "Sesungguhnya Kesusahan Bersama Kemudahan".

Lalu, kemana kita setelah pandemi ini? , setelah pandemi ini mungkin saya akan kembali menyelesaikan tugas-tugas yang tertunda, lalu menanti Liverpool juara liga Inggris setelah puasa 30 tahun. Setelah itu mungkin saya harus mencari saudara ummat Budha, saya ingin sekali menanyakan bagaimana perasaan mereka merayakan hari raya di tengah pandemi. Apakah Tuhannya sama memandang Corona dengan apa yang kami tafsirkan dari Tuhan kami (Tuhan ummat Muslim)? saya penasaran. 

Kemudian, saya juga akan mencari saudara saya yang merayakan hari raya Nyepi, saya ingin sekali mengetahui bagaimana mereka merayakan hari raya Nyepi ini ditengah situasi dan kondisi yang "dipaksa" untuk sepi? Saya tertarik mempertanyakan hal itu. Juga dengan kisah-kisah hebat mereka, seperti Mahabarata. Saya ingin menggali, apakah dalam kepercayaan mereka terdahulu telah dikisahkan hal seperti ini?. Tentu menarik jika Dewa Krisna sudah memprediksi hal semacam ini. Atau adakah dari kisah Ramayana yang bisa kita kaitkan dengan ujian ummat manusia sekarang ini, tentu saya harus mencari Hindu yang taat, yang tidak membawa saya menuju teori konspirasi. 

Lalu, dengan ummat Kristiani. Baik mereka dari kalangan Protestan pun juga dengan Katolik, mereka juga harus memberikan saya pencerahan, sebab agama mereka juga menghadapi apa yang agama saya (Islam) hadapi. Saya harus mencari tahu, apakah pandemi, atau hal semacam ini telah ada di kitab suci mereka, saya ingin tahu bagaimana mereka merayakan Kamis Kudus di tengah pandemi, masih dengan social distancing dan sebagainya atau melupakan protokol kesehatan yang telah di rilis pemerintah kita. 

Saya juga harus menemui orang-orang Tionghoa, saya juga harus menanyakan bagaimana mereka menghadapi tahun baru mereka, hari raya Imlek di tengah pandemi (khusus mereka yang ada di negara RRT). Iya sebab perayaan mereka adalah perayaan yang pertama di hadapi dalam masa Covid. Saya ingin menanyakan bagaimana rasanya merayakan hal itu tanpa ada contoh dari perayaan keagamaan lain. Apalagi, negara mereka adalah sumber munculnya pandemi ini. 

Kemudian terakhir, ummat Islam. Saya ingin mencari tahu bagaimana mereka menghadapi pandemi. Bagaimana juga ummat Islam di Indonesia tidak melaksanakan budaya yang dilakukan selama masa hari raya Idul Fitri. Semisal, bersilaturahmi di rumah kerabat serta keluarga. Tidak lupa juga, saya ingin bertanya mengapa ada pro kontra dalam ritual keagamaan ummat Islam di Indonesia selama pandemi ini.

Komentar