Langsung ke konten utama

Kita Semua Sudara

Sudara, ternyata bukan hanya kita yang "seayah dan seibu", Kita Semua Sudara. Mengingat kembali kejadian gempa bumi yang berpusat di Kota Palu, Sigi, dan juga Donggala tempo lalu, juga berarti mengingat semua hal kecil dan besar yang terjadi pasca gempa bumi itu.

Belum lama ini, telah terjadi banjir bandang yang dahsyat di Bumi Luwu Utara, menenggelamkan tanaman, hewan, tumbuhan, manusia, dan harta benda. Malam yang akan menjadi sangat traumatis bagi sudara-sudara kita di sana. 

Belakangan ini, begitu banyak "bencana alam" yang terjadi di sekitar kita, tanah longsor, banjir, kebakaran, dan lain sebagainya. perdebatan penamaan "bencana alam" sebenarnya menuai debat debat kecil. beberapa orang meyakini bahwa alam tidak pernah salah, manusialah yang sebenarnya serakah. Boros menggunakan air misalnya, menebang pepohonan di areal yang vital, membuang sampah yang sangat lama terurai. Isu tentang lingkungan menjadi sangat "seksi" untuk di bicarakan, di perdebatkan, bahkan untuk di "perjuangkan", menjaga dan melestarikan. 

Untuk menyadarkan diri, sebenarnya tinggal menonton film atau video dokumenter tentang lingkungan hidup, semisal Watchdoc Documentary, dan Anatman Pictures di YouTube. salah satu video yang membuat saya terenyah tentang keserakahan "kita" sebagai manusia yang egois, yaitu dokumenter dari Anatman Pictures yang berjudul "Diam & Dengarkan".

Kembali ke musibah yang ada di Luwu Utara, di kota Masamba dan sekitarnya. Kota Masamba dan sekitarnya dibuat luluh lantah oleh air yang menurut pendekatan Agama, adalah air yang taat oleh perintah Tuhannya sebagai makhluk ciptaan. Masamba dan sekitarnya menjadi lumpuh dan dan beberapa tertimbun lumpur, air yang deras turut membawa lumpur. Sementara pendekatan "lingkungan" adalah hal yang paling realistis dan logis untuk mengkaji dibalik semua ini. 

Di balik duka mendalam musibah banjir di Luwu Utara, slogan Sipakatau yang melekat di orang-orang Bugis benar-benar nyata adanya, sebenarnya bukan hanya orang-orang Bugis, tapi semua kita benar-benar tergerak hatinya untuk membantu sebisa mungkin apa yang dibutuhkan sudara kita di Luwu Utara. 

Di kotaku sendiri, Enrekang, pagi setelah musibah di Luwu Utara, banyak teman-teman yang langsung melakukan gerakan kemanusiaan, mengumpulkan donasi untuk sudara kita di Masamba. Salah satu yang menggugah semangat adalah statement dari seorang teman yang turun ke jalan mengumpulkan donasi "Ayo turun ke jalan, jangan takut hujan, sudara kita di Masamba, mandi lumpur, jangan takut air hujan, air bukan penghalang!", seperti itu penggugah semangat mereka. Pula banyak teman-teman yang lain yang bergerak mengumpulkan donasi, teman-teman Ojol yang menggratiskan paket untuk diantarkan, teman-teman seni yang mengggalang dana melalui caranya sendiri, masing-masing punya cara membantu sudara kita yang ada di Masamba. 

Satu, yang membuat saya tersadar akan kemanusiaan, dan persaudaraan, adalah teman-teman dari IDE INSTITUTE ( IKATAN DIFABEL ENREKANG ). Tak ingin tinggal diam, teman-teman IDE INSTITUTE juga menggalang donasi dari internal mereka, harunya ialah semua bersemangat, dan masih akan tetap mengumpulkan donasi setelah donasi pertama di kumpulkan. Di balik keterbatasan, tak ada yang bisa menghalangi untuk berbuat, selagi itu baik. 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buttu Cui Yang Kurindukan Setiap Agustus

Buttu Cui adalah sebuah daerah di pinggiran kota Enrekang, hanya dengan menunjukkan di mana letak Masjid Agung Enrekang, maka kamu akan mendapat Buttu Cui.  Saya adalah seorang pemuda yang sewaktu kecil membanggakan diri menjadi orang BTC (singkatan dari Buttu Cui), mungkin yang paling mendasari kebanggaanku ini adalah tim sepakbolanya, ada banyak legenda hidup sepakbola di daerahku ini, begitu juga setelah saya melihat beberapa album di rumah Bapak Rahul, bahwa dahulu hingar bingar kejayaan persepakbolaan Buttu Cui itu benar-benar ada. Juga ada beberapa cerita dari senior-senior di BTC ini ketika mereka beralih dari anak ingusan ke masa remaja. Terlepas dari itu semua, yang paling kurindukan adalah suasana 17 Agustusan di zamanku kecil, yang mana anak kecil sekarang yang seperti usiaku dulu mungkin tidak bisa merasakan kegemilangan, kehebohan, kegembiraan, kebersamaan, dan kebahagiaan pesta rakyat tahunan itu.  Dahulu, setiap Agustusan tiba, ada gengsi, ada prestise yang diba...